Sunrise 17 Agustus |
“Fakur bangun !! Sunrise 17 Agustus !”
Sejenak
saya terkejut dengan teriakan teman saya tadi, dia langsung menarik tangan saya
keluar tenda tanpa peduli saya sudah bangun sepenuhnya atau belum. Begitu
keluar tenda, saya langsung melihat langit biru gelap yang sangat bersih,
secercah cahaya dengan gradasi oranye-kuning di sebelah timur tenda, dan
sebongkah batu raksasa besar berbentuk lancip di sebelah utara yang gagah
berdiri dan sesekali menyemburkan asap belerang keatas langit. Tentu saja semua
itu saya alami dalam keadaan setengah sadar. Setelah beberapa detik mengikuti
langkah teman saya yang sangat gesit ke bukit sebelah selatan, sambil sesekali
melihat sekitar saya akhirnya tersadar, saya terbangun di Pasar Bubrah, Gunung
Merapi.
Langkah
demi langkah saya mencoba mengejar teman saya yang sudah agak jauh didepan
dengan sempoyongan karena saya berjalan diatas batu-batu sebesar kepalan tangan
–atau bahkan lebih besar– dan trek yang sedikit menanjak naik ke bukit kecil di
timur Pasar Bubrah. Bukit ini tidak terlalu tinggi, namun memiliki view yang sangat luas karena tepat
menghadap ke timur, ke arah matahari terbit.
Pagi
itu pukul 5.20, matahari mulai menampakkan sinar hangatnya dari balik awan.
Saya mencoba meletakkan pandangan saya ke arah lain sambil menikmati hangatnya
sinar matahari. Tepat si sebelah utara dari tempat saya duduk, Merbabu yang
berdiri kokoh terlihat sedikit kalem dibandingkan Merapi karena warna hijau
yang menyelimuti hampir keseluruhan dari badan Gunung tersebut. Di sebelah
barat, samar-samar saya dapat melihat bayangan Si Kembar Sindoro dan Sumbing.
Lalu saya melihat kearah bawah tepat dibawah kaki Gunung Merapi, sepertinya
tadi saya berlari membelakangi tempat ini, ya, Pasar Bubrah.
Komplek Per-tenda-an di Pasar Bubrah |
Pasar
Bubrah adalah pos terakhir pendakian Gunung Merapi sebelum puncak, yang
letaknya tepat dibawah kaki Gunung Merapi utama. Pasar Bubrah terlihat seperti
hamparan tanah kosong yang sangat luas dan dihiasi batu-batu putih bermacam
ukuran, dari kerikil hingga yang sebesar rumah. Tidak ada sumber air ditempat
ini, bahkan sama sekali tidak ada tumbuhan hijau yang hidup ditempat ini, semua
benar-benar berwarna putih khas abu Merapi. Apabila malam tiba, batu-batu besar
yang berada di lokasi ini terkadang membentuk bayangan seperti rumah, orang
ataupun benda-benda lain. Namun kondisi batu-batuan yang terkesan acak atau
hancur diibaratkan sebagai pasar yang rusak atau dalam bahasa Jawa : bubrah.
Maka dari itu tempat ini dinamakan Pasar Bubrah.
Sepatu Keren vs Komplek Tenda |
Jika
pada hari normal, lokasi Pasar Bubrah sangat sunyi dan mistis, banyak pendaki
enggan bermalam di tempat ini jika tidak ada pendaki lain. Namun hari ini, di
hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus mendadak lokasi ini benar-benar
berubah menjadi ‘pasar’ yang sesungguhnya.
Mata
saya terfokus pada setiap tenda yang pagi itu berjajar ‘rapi’ di seluruh sudut
Pasar Bubrah. Hal ini benar-benar sulit saya percaya, padahal semalam, saat
kami mendirikan tenda masih banyak terlihat area kosong di tempat ini. Tetapi
entah kenapa, pemandangan yang saya saksikan pagi ini hampir tidak terdapat
ruang kosong di Pasar Bubrah. Mengherankan, mengingat luasnya Pasar Bubrah
melebihi 2x lapangan sepak bola.
Sepatu Keren vs Sunrise |
Suasana
tersebut saya maklumi dan pahami secara positif bahwa masih banyak orang Indonesia
yang mencintai Negerinya sampai bersusah payah mau merayakan hari
kemerdekaannya diatas gunung, bukan korban dari tren naik gunung akibat
menonton film tertentu. Saya buang-buang jauh pikiran itu, dan melanjutkan
menikmati pemandangan tenda-tenda yang ‘berserakan’ di Pasar Bubrah –termasuk
tenda kami juga s aya rasa–.
Satu
per satu teman-teman saya keluar dari tenda, sedangkan tenda-tenda lain masih
tertutup rapat menikmati tidur tenangnya. Mereka pun berjalan perlahan menuju
tempat saya (dan teman saya) yang lebih dulu naik tadi sambil menahan dinginnya
angin pagi yang bertiup cukup kencang. Saya tersenyum kecil melihat mereka,
karena menikmati sunrise diatas
gunung bersama dengan teman-teman adalah salah satu hal terindah di hidup ini
yang harus kalian coba!
Kembali
saya memalingkan pandangan saya ke tempat awal tadi, arah timur. Sinar matahari
semakin menguat, bentuk bulat matahari pun semakin terlihat jelas muncul dari
balik awan-awan yang menutupi garis horizon. Ketika teman-teman saya sampai di
bukit yang sama, di waktu itu juga matahari semakin terlihat bulat sempurna dan
memancarkan sinar hangat. Inilah matahari 17 Agustus, teman-teman, dan suasana
pagi yang indah. Terimakasih Tuhan, adakah nikmat-Mu yang bisa kami (manusia)
dustakan?
Dari Kiri Bawah : Pringgo, Sandra, Dwita, Saya ; Dari Kiri Atas : Pras (ga ada kepalanya), Nyonyon, Nanda |
Tulisan ini telah diterbitkan dalam : Jurnal Indonesia Kaya - Suasana 17 Agustus di Pasar Bubrah
-Fajar
Kurniawan, (Ex) Mahasiswa Teknologi Industri Pertanian, Universitas Gadjah
Mada-
0 comments:
Posting Komentar