#Kakipencot : Sikunir, Sepotong Bagian Kecil Surga yang Siap Untuk Hancur



Never Ending Friendship!
Siang itu, saya beserta kedua teman saya Sandra Agustina (Sandra) dan Ramadhani Ryan Akhmad (Nyonyon) beserta pacarnya Dita Mulya (Dita) sudah berencana untuk menghabiskan waktu akhir pekan dengan kemping di Bukit Sikunir, Dieng. Bukit Sikunir merupakan salah satu tempat terbaik di Dieng untuk menikmati sunrise karena viewnya yang langsung menghadap ke timur dan dapat melihat 7 puncak gunung apabila cerah. Dan yang paling terpenting, Bukit Sikunir ini merupakan salah satu target destinasi saya di tahun 2014, coba baca tulisan saya 8 Destinasi Yang Harus Dikunjungi di 2014.
Sekitar jam 14.00 kami berangkat dari Jogja menggunakan mobil menuju Dieng. Selama perjalanan kami sempat untuk berhenti makan dan melengkapi peralatan serta logistik yang belum terpenuhi untuk persiapan kemping nanti. Saat hari mulai gelap, sekitar jam 18.30 kami mulai memasuki daerah Temanggung, daerah Taman Nasional Sumbing. Saya memilih jalur ini karena menurut saya jalannya lebih singkat dan pemandangannya sangat indah. Tapi ketika hari semakin gelap, kabut yang sangat tebal malah turun menemani perjalanan kami di malam itu. Daerah ini cukup berbahaya apabila turun kabut, karena selain jalannya yang lumayan kecil, sama sekali tidak ada penerangan selain lampu kendaraan kami.
Setelah melewati jalan ‘alternatif’ ini, kami mulai memasuki jalan raya menuju Kawasan Wisata Dieng. Rencana untuk naik ke Sikunir di malam hari memang sudah kami perhitungkan akan lebih mudah. Karena Sikunir sangat ramai pengunjung di saat menjelang pagi, terutama dari jam 00.00 sampai dengan menjelang sunrise. Bahkan saya pernah mendapatkan informasi dari penduduk sekitar bahwa di akhir pekan, Bukit Sikunir dapat menampung kurang lebih 3000 orang, waw!
Kira-kira sekitar jam 19.30 kami sampai di Sikunir, kami langsung menuju ke satu warung yang dijaga oleh seorang Bapak dan Ibu, serta ada seorang pengunjung yang sedang duduk menikmati kopi panas. Malam itu cuaca cukup cerah dan dihiasi sedikit hembusan angin yang lumayan membuat tulang-tulang kami menggigil. Sikunir terletak di Desa Sembungan yang *katanya* merupakan Desa Tertinggi di tanah Jawa, melebihi Desa Tengger di Kawasan Bromo Tengger Semeru, jadi tidak aneh apabila suhu disini bisa membuat badan kami menggigil, terutama di musim kemarau.
Saya langsung memesan teh hangat untuk menahan dinginnya udara di malam itu, dan untuk sekedar informasi, di dalam warung itu jauh lebih hangat dibandingkan diluar. Saya memulai sedikit perbincangan dengan Bapak Ibu penjaga warung, menurut mereka kemarin disana tidak terjadi golden sunrise atau istilah penduduk sekitar ‘sanrais ngga jadi’. Namun lusa kemarin langit sedang cerah dan sunrise yang muncul benar-benar indah. Hufft, dalam hati saya ini benar-benar pertaruhan, skor 1-1 untuk sunrise bagus dan tidak. Walaupun sebenarnya saya agak sedikit pesimis, karena langit malam itu sangat berawan, tidak ada satupun bintang yang terlihat.

Persiapan Sebelum Naik!

Packing ulang pun kami lakukan malam itu, mulai dari memasukkan botol-botol minuman serta makanan yang baru kami beli di tengah jalan tadi. Kami juga mulai melengkapi peralatan hangat untuk menghiasi badan kami yang sedang kedinginan. Saya sendiri hanya memakai sejenis sweater, kaos tangan, dan sepatu, karena sewaktu itu saya belum memiliki peralatan naik gunung yang lengkap. Menurut saya yang paling dibutuhkan di saat dingin seperti ini adalah kaos tangan dan sepatu, karena apabila tangan dan kaki kita sudah kedinginan, kita akan sangat sulit untuk berjalan seimbang.
Jam menunjukkan pukul 20.20, dengan diawali doa bersama kami memulai perjalanan menuju puncak bukit. Medan jalan di Bukit Sikunir sebenarnya tidak begitu berat, tetapi melelahkan. Karena jalan menuju ke puncak terdiri atas anak-anak tangga yang *menurut saya* dibuat untuk raksasa. Yang menjadi berbahaya apabila setelah diguyur hujan, medan tanahnya akan menjadi sangat licin. Maka dari itu saya sangat menganjurkan untuk menggunakan sepatu yang mempunyai alur tegas untuk melewati medan seperti ini. Perjalanan menuju puncak bisa ditempuh dalam waktu 1 jam apabila berjalan santai, tapi bisa juga ditempuh dalam waktu 30 menit apabila kita sudah sangat terbiasa tracking di gunung.
Di pertengahan jalan nanti kita akan melewati sebuah persimpangan, dimana ada petunjuk arah ke kanan yang jalannya naik agak curam sedangkan ke kiri jalannya agak sedikit landai. Di titik ini saya sarankan untuk menuju ke arah kanan, karena spot terbaik Sikunir ada di bagian ini. Apabila mengambil ke arah sebelah kiri, nanti kita akan sampai pada ujung bukit dimana pemandangannya lebih luas namun tempatnya sangat sempit. Di spot ini juga terdapat beberapa penjual pop mie serta minuman-minuman hangat. Namun yang perlu menjadi catatan, di spot tersebut tidak ada area untuk kemping. Maka kami melanjutkan jalan menuju arah kanan dengan jalur yang lumayan curam.
Sesampainya di puncak bukit 1 jam kemudian, kami melihat sudah banyak tenda-tenda berdiri yang tidak terhitung jumlahnya. Segala jenis tenda pun ada disini, dari yang berukuran hanya untuk 2 orang sampai berukuran raksasa 10 orang, dari tenda dome, kotak sampai tenda pramuka, semua ada disini. Harus saya akui malam itu memang kami tidak bisa melihat landscape lokasi secara jelas karena kabut tebal yang turun, tapi saya sangat yakin bahwa jumlah tenda yang berdiri di tempat itu sangatah banyak. Padahal menurut saya area kempingnya sangat luas, tapi saya bisa mendengar suara-suara orang berbicara dari segala penjuru arah.
Kami mulai mencari spot tanah datar untuk mendirikan tenda dan menyiapkan makanan. Tapi ternyata ini adalah bagian paling sulit, karena memang area ini sudah sangat dipenuhi oleh banyak tenda. Akhirnya kami menemukan satu spot dibawah pohon pinus yang agak menurun tapi masih masuk akal untuk didirikan tenda. Setelah membuat tenda dengan kondisi tanah yang seadanya, kami mulai menyusun peralatan masak. Menu malam itu adalah spageti! Dengan Sandra sebagai kokinya. Dan baru pada malam itu saya tahu kalau saus spageti itu menggunakan susu putih kental *huek*, resep yang sangat aneh. Sambil menunggu masakan malam itu, saya menikmati segelas coklat panas sambil memandangi daerah sekitar, dan menyadari bahwa ternyata bukit ini tidak seindah seperti yang saya lihat di foto, apalagi di waktu weekend seperti ini. Ini adalah saran saya yang ke sekian, jangan berkunjung ke tempat ini di weekend, carilah weekday untuk bisa menikmati tempat ini secara maksimal.
Lewat tengah malam, saya berjalan-jalan memutari daerah itu untuk mencari spot menangkap sunrise nanti paginya. Akhirnya saya mendapatkan satu spot bukit kosong yang berada tepat di depan tenda kami. Dari situ saya bisa melihat seluruh wilayah puncak Sikunir beserta pendoponya, juga dihiasi oleh pemandangan Gunung Sindoro dan Sumbing. Fix! Tempat ini adalah tempat terbaik untuk mengabadikan momen sunrise nanti pagi. Saya kembali ke tenda dan bersiap untuk beristirahat. Ada hal yang baru saya sadari pada saat itu, bahwa ternyata jumlah orang yang ada di tempat ini menjadi semakin banyak! Semakin banyak orang berdatangan, semakin banyak pula tenda-tenda lain yang berdiri. Saya sudah tidak bisa membayangkan akan sebanyak apa pengunjung yang ada keesokan harinya.
Jam menunjukkan pukul 04.30, kami terbangun karena alarm saya yang sangat sulit untuk dimatikan. Setelah terbangun kami masih terdiam di dalam sleeping bag masing-masing untuk menyatukan nyawa. Dari dalam tenda, kami bisa mendengar bahwa diluar sudah semakin banyak suara orang yang saling berbincang.  Saya pun tidak bisa merasakan tidur nyenyak karena *yang pertama* sleeping bag saya sepertinya terlalu kecil sehingga tidak bisa menutupi seluruh badan saya, dan *yang kedua* karena terlalu banyak lalu lalang orang yang datang, ada juga orang yang nongkrong dekat dengan tenda kami, ada juga orang yang bermain gitar di samping tenda kami. Hal-hal seperti itu yang membuat saya sulit untuk menikmati tidur saya malam itu.
Nyonyon langsung memasak air untuk membuat minuman hangat, karena pagi itu benar-benar dingin, lebih dingin daripada malam tadi. Seperti yang sudah saya duga-duga selama di dalam tenda, ternyata diluar sudah banyak sekali orang yang menanti sunrise di tempat ini. Saya hampir tidak bisa melihat adanya ruang kosong di tempat ini, semua penuh dengan orang, persis seperti di pasar! Bahkan bukit kosong yang saya kunjungi tengah malam tadi sekarang sudah penuh dengan orang dan tenda yang berdiri. Kami langsung bergantian solat Subuh berjamaah di dalam tenda, karena tidak ada tanah datar dan kosong yang bisa kami gunakan untuk solat Subuh berjamaah sekaligus.

Bukit yang tepat berada di depan tenda kami

Setelah selesai solat, saya langsung melesat membawa kamera dan tripod saya menuju bukit tadi malam. Walaupun harus mencuri-curi tempat berdesakan dengan pengunjung yang lain, saya ingin sekali menempati spot yang sudah saya tandai tadi malam. Langit pada pagi itu sangat cerah, saya mempunyai firasat yang sangat baik bahwa golden sunrise akan muncul sempurna. Tripod dan kamera saya sudah siap menangkap lukisan indah Yang Maha Besar pada pagi itu.
Pukul 05.15, waktu fajar sudah lewat, saatnya mentari muncul untuk menggantikan terangnya bulan pagi itu. Cahaya kuning mulai terlihat dari bagian timur, walaupun masih terbayang-bayang oleh awan yang berada di bawahnya. Saya masih tetap mencari kombinasi warna yang cocok untuk keadaan di pagi itu. Sampai pada akhirnya sedikit demi sedikit cahaya keemasan mulai menghiasi langit Sikunir. Inilah alasan kenapa bukit ini disebut Sikunir, karena di saat golden hour seperti ini langit Sikunir menjadi berubah warna kuning keemasan seperti tanaman Kunir. Cahaya emas itu membentuk sebuah pola yang menghiasi langit, Subhanallah, keagungan Allah benar-benar membuat kami *terutama saya* tidak menyesal sudah datang ketempat ini. Suara shutter button kamera mulai terdengar darimana-mana, tanda bahwa mereka sudah memulai mengabadikan momen indah ini. Cahaya keemasan itu juga yang menghiasi Sumbing dan Sindoro tepat dari samping, sehingga memperlihatkan keperkasaan gunung-gunung tersebut. Di kejauhan terlihat Gunung Merbabu dan Merapi, juga Lawu yang masih malu-malu untuk menampakkan diri. Jika kita beruntung, kita juga bisa melihat Gunung Slamet di bagian barat pemandangan ini.

Foto di depan tenda! abstrak!

Saya terus mengabadikan momen indah ini, sementara saya tidak sadar bahwa ternyata di sekitar saya semakin bertambah dan bertambah jumlah orang yang datang. Di sekitaran pendopo timur yang menghadap langsung ke matahari terbit bisa dilihat kumpulan orang-orang yang jumlahnya mencapai ratusan. Tapi saya tetap tidak peduli, bagi saya keindahan absolut di Sikunir ini tidak bisa diganggu oleh hal apapun.

Nyonyon bergaya

Jam hampir menunjukkan pukul 06.00 pagi, saya sudah cukup puas mengambil gambar di golden hour yang cukup singkat itu. Setelah saya kembali ke tenda, waktunya saya mengabadikan momen bersama teman-teman saya yang lain, narsis time! Dari sebelah barat bukit, kita dapat melihat pemandangan Telaga Cebong yang berada tepat dibawah Bukit Sikunir. Nah, dari sini kita dapat tahu betapa banyaknya pengunjung Sikunir dengan melihat jumlah kendaraan yang terparkir di pinggir Telaga Cebong.

Narsis! dengan berlatar Gunung Sindoro
Jam 08.15 kami mulai membereskan tenda, sambil mengumpulkan sampah-sampah kami yang berceceran di sekitaran tenda. Tetapi saya baru menyadari bahwa tenda lain didepan kami semalam sudah terlebih dahulu pulang, dan mereka meninggalkan sangat banyak sampah di sekitar tempat mereka kemping. Saya sangat menyayangkan hal tersebut, ketika seluruh pengunjung mulai pulang dan Bukit Sikunir semakin sepi, malah jumlah sampah yang ada di bukit ini semakin bertambah. Dimana-mana tergeletak botol minum, plastik makanan, tissu dan sampah-sampah lain yang tidak bisa kalian bayangkan ada di tempat seperti ini.

Foto berlatar belakang Telaga Cebong di sebelah barat bukit

Tetapi ketika kami sudah beres dengan tenda kami, ada seorang pemuda (entah petugas, pemulung atau pemuda sekitar) yang berjalan dari bawah membawa trash bag besar, dan mulai mengambil seluruh sampah yang dia lihat di area itu. Waw, kata saya dalam hati, entah apa pekerjaan orang ini, tapi yang jelas dia benar-benar membuat jumlah sampah di area itu menjadi sangat sedikit. Saya kagum dengan orang-orang seperti ini, yang masih peduli dengan lingkungan yang mungkin tidak membawa seberapa keuntungan untuk dirinya sendiri. Kalaupun dia adalah petugas sana, menurut saya juga itu sudah merupakan upaya yang sangat baik bagi pengurus daerah wisata Desa Sembungan untuk terus menjaga kebersihan dan keasrian lingkungan Bukit Sikunir.
Kami memulai doa, dan memulai perjalanan untuk turun ke bawah di waktu yang sudah semakin siang, jam menunjukkan pukul 09.00. Saya membawa sebuah kantong plastik besar yang masih kosong, tujuannya sih sebenarnya untuk memunguti sampah selama turun kebawah. Tapi ternyata ada hal miris lain yang saya lihat di perjalanan pulang. Di bagian bukit agak turun sedikit, terdapat satu titik dimana semua sampah berkumpul, banyak sekali, hampir mencapai 4 kantong trash bag besar. Dalam hati saya, siapa yang mau membuang sampah-sampah ini kebawah? Atau hanya dibakar ditempat nantinya? Tentunya apabila dibakar tidak akan hilang sempurna seluruh sampahnya. Di sisi ini saya masih positive thinking bahwa nantinya akan ada petugas-petugas lain yang akan membawa sampah-sampah tersebut turun kebawah. Ada hal lain yang mengganggu saya selama perjalanan pulang, yaitu jumlah sampah yang berserakan sepanjang jalan turun. Sesampainya di bawah, kantong plastik besar yang saya bawa tadi turun sudah penuh dengan sampah yang saya punguti sepanjang jalan. Bahkan saya sempat mengacuhkan beberapa sampah yang tidak bisa saya jangkau.

Pemandangan Telaga Cebong dari Bukit Sikunir

Sungguh sangat sangat disayangkan menurut saya, keindahan Bukit Sikunir harus dikalahkan dengan berbagai cacat yang sebenarnya tidak perlu ada. Sampah-sampah yang menghiasi Bukit Sikunir tidak seharusnya ada disana apabila seluruh pengunjung mempunyai kesadaran akan pentingnya kebersihan tempat wisata yang mereka kunjungi. Apa sulitnya membawa turun atau pulang lagi sampah-sampah yang kita bawa? Apakah kita terlalu gengsi untuk terlihat sok bersih dibandingkan harus kotor-kotoran membuang sisa-sisa sampah yang merupakan tanggungjawab kita sendiri? Coba pikirkan apabila 5 tahun kemudian hal tersebut terus berlangsung. Bukit Sikunir yang menurut saya salah satu potongan kecil surga bisa-bisa menjadi kehilangan daya tariknya. Apakah kita tidak mau menceritakan pengalaman kita kepada anak-cucu kita bahwa terdapat sebuah tempat indah bernama Bukit Sikunir? Apakah kita akan dianggap sebagai pembual karena tempat tersebut di masa depan sudah semakin rusak? Menjadi sarang sampah?

Setelah sampai di bawah

Semua nasib kepariwisataan Indonesia berada di tangan orang Indonesia itu sendiri. Kita sendiri yang harus sadar bahwa kekayaan kita sungguhlah besar dan patut untuk dijaga. Kita selalu meneriakkan bahwa kita tidak ingin dijajah oleh Negara lain, tidak ingin dijajah oleh kebodohan, tapi dalam kasus ini kita lah yang menjajah diri kita sendiri. Tanpa sadar kita menggerogoti hal-hal indah yang kita miliki, sampai pada akhirnya kita sadar ketika kita sudah tidak punya apa-apa. Sadarlah, siapapun dari sekarang, yang membaca tulisan ini. Saya hanya menyampaikan sudut pandang saya yang semakin khawatir akan rusaknya tempat-tempat seperti ini di Indonesia kita. Mungkin bukan saya saja yang khawatir, tapi sudah banyak orang lain yang juga sudah melakukan banyak gerakan-gerakan peduli lingkungan. Lalu dengan semua hal tersebut, kapan kamu sendiri mulai belajar untuk peduli?

Hal yang lebih penting dibandingkan menggalakkan gerakan-gerakan yang 'terlihat' berarti adalah belajar untuk menyadari bahwa diri kita sendiri peduli


Fajar Kurniawan, Mahasiswa Teknologi Industri Pertanian, Universitas Gadjah Mada

0 comments:

 

Link Travel Bloggers Indonesia

Travel Blogger Indonesia

Kunjungi Saya Juga Disini!

Flickr Fakur! Tumblr Fakur!

Atau Disini!


Soundcloud Fajar Kurniawan!

Twitter Fajar Kurniawan!