Dari kiri (Saya, Dicky, Hananto) |
Bulan Purnama Merah (Blood Moon) diperkirakan muncul di
antara tanggal 14-15 April 2014. Kira-kira seperti itulah yang diucapkan oleh
beberapa media online di internet.
Kemping di pantai kali ini adalah ide yang sudah sangat lama kami (Saya dan
Dicky) rencanakan. Tujuan awalnya sebenarnya untuk menikmati malam-malam di
pantai, tapi sampai hari itu kami belum juga bisa merealisasikannya. Karena
kami hanya ingin liburan singkat yang tidak ‘ribet’, maka kami hanya
merencanakan untuk berangkat dalam 1 hari, mengajak semua orang yang mungkin
bisa diajak, dan mempersiapkan segala sesuatunya dengan sangat terbatas.
Sayangnya karena banyaknya halangan teman lain pun kami harus berangkat dengan
peserta 3 orang yaitu Saya, Aldicky Faizal (Dicky), Hananto Adi (Hananto) yang
notabenenya kami adalah teman satu angkatan di TIP.
Jam 16.00 kami melaju dari
Yogyakarta dan bertemu Hananto di Jln. Wonosari, sekaligus melengkapi
perlengkapan dan beberapa makanan untuk bekal nanti malam. Sejujurnya kami pun
belum mengetahui kemana tujuan kami kali ini. Kami hanya ingin menghabiskan
malam tenang kami di pantai. Akhirnya tujuan kami mengkerucut ke Pantai Siung,
karena konon disana katanya punya area pasir yang luas, jadi nyaman untuk
mendirikan tenda. Berangkatlah kami menuju arah Gunungkidul sekitar jam 16.30.
Di pertengahan jalan, kira-kira
sampai di bundaran *lupa namanya* ketika kita akan mengambil arah kanan untuk
ke pantai, Saya yang dibonceng Dicky ingin membeli air mineral gelas untuk
digunakan gelasnya di pantai. Setelah dari toko, Dicky mendapat sms dari
Hananto yang memberi info kalau dia ‘NYASAR’, hampir ke arah Pacitan. What the hell~ kita belum sampai ke
tujuan, tapi sudah mendapatkan hal semacam ini, saya hanya tertawa dan menahan
heran dalam hati. Hananto ini benar-benar mahluk yang unik. Menurut beberapa
narasumber, dia adalah orang yang sangat easy
going, mudah diajak jalan kemana saja. Saking uniknya, setiap perjalanan
yang melibatkan dia, pasti selalu mendapatkan cerita lucu bin unik karenanya.
Pernah ada satu cerita yang masih
hangat, dia dan 2 teman saya hendak mendaki Gunung Merbabu. Tapi karena dia
tidak kuat, maka dia memutuskan untuk turun dan beristirahat di Pos 1, harapannya
bisa mengejar yang lain pagi hari. Akhirnya kedua teman saya pun
meninggalkannya turun gunung. Keesokan paginya dia mencoba mendaki lagi seorang
diri, tapi sama seperti hari sebelumnya, dia tidak kuat untuk melanjutkan.
Akhirnya dia pun turun gunung lagi, dan langsung pulang ke Jogja sendirian,
saya ulangi! Pulang ke Jogja sendirian! Pulang ke Jogja Sendirian! Ahahahaha
jadi kurang unik apa lagi teman saya yang satu ini? Dan uniknya teman saya satu
lagi si Dicky ini bisa dibilang merupakan pawangnya. *wakakakak*
Oke, dua paragraf hanya untuk
mendeskripsikan hal tidak penting, kita lanjutkan. Intinya Hananto menghilang,
dan kami berdua pun panik. Kami mencoba untuk menghubungi lewat telpon, sms, line, tapi tetap tidak bisa. Seolah-olah
dia berada di luar jangkauan sekarang. Ditambah lagi dengan penjelasan bapak
penjual penyetan di pinggir jalan bahwa Kota Wonosari itu jalannya searah, akan
sulit apabila menyusuri jalan yang pernah dilewati sebelumnya. Akhirnya kami
berdua pun putus asa, makan di pinggir jalan, solat Mahgrib sambil berdoa
supaya Hananto cepat memberi kabar. Apa yang harus kami katakan kepada kedua
orang tuanya? #sedih
Nah di saat ini adalah alasan
kenapa saya sempat membuka dengan penjelasan Blood Moon di hari itu. Kira-kira selepas Mahgrib, Dicky melihat
ada sebuah cahaya yang sangat terang dan besar dari arah sebelah timur. Saya
pikir itu lampu, karena intensitas cahayanya sangat tinggi, dan berwarna
kuning. Tapi setelah beberapa lama ternyata yang muncul adalah bulan!
Benar-benar besar! Dan bulan terebut berwarna kuning-orange. Di beberapa
wilayah Indonesia di saat itu, kita dapat melihat bulan dengan warna ‘merah’
yang sebenar-benarnya, sayangnya Jogja tidak termasuk dalam wilayah tersebut.
Bulan purnama yang menerangi kami selama di pantai |
Setelah terkagum-kagum menikmati
bulatnya bulan malam itu dan nikmatnya ayam bakar di pinggir jalan, tiba-tiba
ponsel genggam Dicky berbunyi. Tiit tiitt tiiit tiit! “Hananto ndes!” teriak
Dicky, diangkatnya telepon itu dan langsung menghujani Hananto dengan
pertanyaan “jinguk koe neng ndi ndes?? Aku ngenteni ki ket mau neng bunderan! Hapemu
ngopo raiso ditelpon?”, dengan santainya Hananto menjawab “aku wes neng pantai
bro”. Sejenak terdiam kami mengetahui berita itu dari dia, perasaan kami
bercampur aduk antara kesal, heran, lega dan geli, setidaknya kami tidak harus
membawa kabar duka untuk keluarganya bahwa Hananto hilang dalam perjalanan,
tertelan kejamnya jalan Wonosari, alhamdulillah.
Kami berdua pun melanjutkan
perjalanan menuju Pantai Siung. Sepanjang perjalanan kami melewati kawasan
hutan yang sama sekali tidak mempunyai penerangan, kampung-kampung yang sepi,
dan bukit-bukit karst besar yang tersusun rapi. Tidak terpikirkan sedikitpun
oleh kami bagaimana seorang Hananto bisa melewati jalan ini sendirian,
bagaimana sebenarnya kalau dia tidak sendirian? Brrrr~. Sekitar 1 jam kemudian
kami tiba di pos retribusi Pantai Siung, tidak sulit menemukan pantai ini,
karena papan penunjuk jalan menuju pantai ini sangatlah jelas terpampang di
sepanjang jalan.
Menghangatkan diri |
Setelah membayar retribusi masuk,
tidak lama kemudian Hananto datang dari belakang kami dengan tampang yang
polos. Hufftt lega sekali melihat tampangnya yang seperti Snorlax (baca :
pokemon) masih sehat walafiat. Untuk menuju ke pantai, kita masih harus turun
lumayan jauh dari pos. Sesampainya di pantai, kami langsung disambut dengan
angin kering yang berhembus kencang dari laut. Malam itu, walaupun sama sekali
tidak ada penerangan di pantai tetapi terlihat seperti ada lampu besar diatas
kita, yaitu bulan purnama.
Sejenak kami beristirahat dulu,
sambil bertanya kepada satu-satunya warung yang masih buka di pantai itu milik
seorang bapak. Kami tiba sekitar jam 20.00, dan hampir menghabiskan waktu
setengah jam untuk mendirikan tenda dan menyalakan api unggun. Kami memutuskan
untuk mendirikan tenda di pinggir pantai di area pasir, pertimbangannya adalah
karena pemandangannya langsung ke arah pantai. Satu-satunya harapan kami pada
malam itu adalah supaya tidak turun hujan.
Hananto a.k.a Kentung |
Kami pun menggelar matras diluar,
dan memasak minuman-minuman hangat untuk menemani kami menikmati suasana malam
di pantai. Secangkir teh tarik panas benar-benar sangat nikmat sebagai teman di
malam seperti itu. Pantai Siung punya daerah pasir datar yang cukup luas,
diapit oleh dua tebing besar di kiri dan kanan. Bagian tebing sebelah
kanan/barat sering digunakan untuk latihan climbing
para Mapala atau sejenisnya. Baru-batu karang besar juga banyak tersebar di
sisi pinggir pantai menghiasi pantai siung yang sangat tenang.
Dicky yang tidak pernah melihat api |
Malam itu terisi penuh dengan
segala macam cerita yang saling kami lontarkan satu sama lain, penuh dengan
canda karena mengingat hal-hal bodoh yang pernah kami lakukan di masa lalu, dan
tentunya juga penuh dengan renungan masing-masing orang di alam indah ciptaan
Allah SWT ini. Seperti destinasi-destinasi sebelumnya, saya juga sangat
menikmati kemping di alam bebas karena saya dapat dengan langsung menyadari dan
mensyukuri segala kuasa-Nya yang sangat luar biasa, yang sering tidak kita
sadari atau bahkan buta karenanya. Innafii
khalqissama waa ti walardhi wahtila fil laili wannahaari la aayati lii ulil
albab. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”
Q.S. Ali Imran 190.
Tidak terasa jam sudah menunjukkan
pukul 02.00 pagi. Setelah lelah menceritakan berbagai hal yang ada di pikiran
kami, merasa sudah puas menikmati keindahan alam ciptaan-Nya, kami pun
bermaksud untuk langsung istirahat di dalam tenda supaya tidak terlalu lelah
keesokan paginya. Tiga anak manusia yang sangat kecil dibawah kuasa-Nya,
didalam kawasan Siung yang sangat indah, menyadari bahwa sebenarnya ada banyak
jalan untuk menyukuri nikmat yang sudah Allah SWT berikan, salah satunya adalah
seperti yang mereka lakukan. Membaringkan diri di pasir yang hangat berharap
energi akan kembali lagi di pagi harinya, dan apakah kalian tahu yang akan
terjadi selanjutnya? Hujan.
Tenda kami |
“Tidak semua kenangan indah harus berakhir indah, yang terpenting adalah bagaimana kita bisa menganggap semua proses yang kita lalui itu indah”
Seperti biasa, narsis! (dari kiri : Saya, Dicky, Hananto) |
Fajar Kurniawan, Mahasiswa Teknologi Industri
Pertanian, Universitas Gadjah Mada
0 comments:
Posting Komentar