Power of Begadang |
Pertama saya akan menjelaskan
kenapa judul tulisan saya kali ini “Puncak Suroloyo, 4 Minutes, 1.7 Km Lagi!”.
Awal Mei kemarin, saya dan teman-teman saya yaitu Ramadhani Ryan Akhmad
(Nyonyon), Sandra Agustina (Sandra), Jeanie Serena (Jeni) dan Arga Ramadhan
(Arga) ingin menikmati sunrise di
Puncak Suroloyo, Kulonprogo. Puncak Suroloyo merupakan puncak tertinggi dari
Pegunungan Menoreh yang memanjang sepanjang Provinsi DIY dan Jawa Tengah.
Kabarnya burung, dari puncak ini kita dapat melihat bayangan Candi Borobudur
yang berada di Magelang saat pagi, sama seperti di Punthuk Stumbu tetapi jauh
lebih tinggi. Perjalanan ini sebenarnya tidak pernah mencapai puncaknya, kami
hanya sangat sangat sangat dekat dengan puncaknya, tapi tidak mampu
melanjutkan. Sebenarnya saya pernah sekali berkunjung ke tempat ini, maka dari
itu ini adalah salah satu alasan kenapa saya sangat disalahkan dalam cerita ini
*melet*.
Malam itu, kami berencana untuk
bergadang sebelum pergi ke Puncak Suroloyo. Alasannya karena takut disana
terlalu lama menunggu untuk sunrise.
Akhirnya dari sekitar jam11 malam kami nongkrong
di McD Jln. Sudirman sambil melakukan segala macam hal untuk membunuh waktu
dari bermain kartu, menggosip, bermain permainan tidak jelas dan sebagainya.
Sampai jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari, kami mulai bergerak dan menuju
Tugu Jogja, untuk foto-foto. Tujuannya masih sama, yaitu untuk membunuh waktu.
1 jam telah habis kami gunakan
hanya untuk foto-foto di Tugu Jogja yang tidak pernah sepi pengunjung meskipun
itu hari biasa dan dini hari. Akhirnya sekitar jam 02.00 kami memutuskan untuk
langsung melakukan perjalanan menuju Puncak Suroloyo. Pagi hari itu kami
menyusuri Jln. Godean sampai menembus Kab. Kulon Progo. Di pagi yang sangat
dingin itu kami hampir tidak menemukan pengendara lain selain kami. Orang iseng
macam apa yang rela bermotor-motor ria di pagi hari biasa *bukan weekend* selain kami?
Berfoto ria di Tugu Jogja! |
Menembus jalan-jalan di Kulon
Progo pagi hari memang sangat membingungkan, terlebih lagi minimnya penerangan
sepanjang jalan. Sewaktu pertama kali saya mendatangi Suroloyo kebetulan di
waktu pagi sekitar jam 7, jadi saya tidak terlalu dibingungkan dengan gelapnya
jalan selama perjalanan. Seingat saya pun sewaktu saya pertama kali ke
Suroloyo, saya hanya mengandalkan insting dan petunjuk jalan tanpa bertanya.
Namun perjalanan kali ini, kami menggunakan alat bantuan canggih, yaitu Google Maps!
Umumnya apabila kita hanya
mengandalkan papan petunjuk jalan untuk menuju ke suatu tempat, kita akan terus
mengikuti jalan lurus sampai ada petunjuk selanjutnya yang lebih jelas. Namun
untuk kali ini beda! Pagi itu kita dibingungkan di sebuah persimpangan, dimana
arah jalan besarnya masih terus, tetapi terdapat belokan-belokan dengan jalan
yang lebih kecil. Disini lah Google Maps
kami berperan! Tanpa berpikir pun si Google
mengarahkan kami untuk belok ke kiri. Saya yang masih bingung, sangat yakin
bahwa sebelumnya saya melewati jalan lurus, tapi dalam hati saya “ah nanti juga
jalannya sama”. Maka kami pun memutuskan untuk belok ke kiri dengan harapan
bisa melewati jalan yang lebih cepat. Karena seingat saya *lagi* pun, jalan
yang saya lewati pertama terasa memutar, dan tanjakan-tanjakannya cukup curam.
Singkat cerita, kami mengambil jalan arah kiri dan melanjutkan perjalanan.
Jalannya semakin memasuki kampung
dan semakin mengecil, tapi yang saya bingung Google Maps tetap yakin menunjukkan arah tersebut. Padahal jalan
semakin kecil bahkan seperti jalan setapak. Kecurigaan kami pun semakin menjadi
ketika di pinggir jalan kami melihat tulisan “Pos Pendakian Suroloyo”. Jalan
yang pertamanya aspal berubah menjadi tanah, jalan yang pertamanya bagus
menjadi semakin rusak, jalan yang pertamanya masih terdapat rumah-rumah warga
menjadi semakin sunyi, memasuki hutan.
Akhirnya kami sadar bahwa
sebenarnya kami melewati jalur pendaki, dengan motor! Walaupun sebenarnya
menurut saya jalurnya masih memungkinkan untuk dilewati motor *motor trail*.
Semakin kami memasuki hutan, semakin sulit medannya, bahkan kami sampai
menghadapi tanjakan licin yang untuk melewatinya butuh bantuan dorongan
manusia. Setelah jalan semakin ekstrim, kami memutuskan untuk beristirahat di
tengah hutan. Ditengah istirahat kami, saya benar-benar takjub ketika melihat
langit pagi itu. Bersiihh, tanpa ada awan sedikit pun, hamparan bintang
tersebar luas menghiasi langit di tengah hutan itu. Mungkin karena faktor
polusi cahaya yang sangat minim ditengah hutan, kami jadi bisa melihat langit
begitu indah pagi itu. Milky way yang
selalu saya cari ketika memoto bintang terlihat jelas tepat diatas kami.
Rasanya saya mau mengeluarkan kamera dan mengambil beberapa gambar, tapi saya
tidak tega melihat teman-teman yang lain yang sudah kelelahan, dan berniat
untuk buru-buru melanjutkan perjalanan.
Penduduk pribumi |
Kami pun memutuskan untuk
melanjutkan perjalanan. Jalan semakin berbatu dan menanjak, saya berjalan di
paling depan, disusul Arga, lalu Nyonyon. Setelah kira-kira saya jauh di depan
dan meninggalkan yang lain, tiba-tiba Nyonyon berteriak dari bawah. Karena
merasa sepertinya ada yang tidak beres, saya turun kembali ke bawah. Ternyata
ada masalah dengan motor Arga, motornya seperti tidak bisa di gas. Jenis
motornya adalah Vixion. Dugaan kami pertama mungkin mesinnya terlalu panas,
tapi setelah ditunggu beberapa saat tetap saja tidak bisa digunakan. Setelah
saya coba dan tetap tidak bisa, saya mulai mengambil kesimpulan mungkin remnya
putus, karena walaupun di gas bagaimanapun juga tetap tidak bisa jalan.
Google Maps yang sangat menyebalkan |
Sunrise yang indah pagi itu |
Ngga kapok-kapok deh jalan begini |
Di tempat ini, Google Maps berbunyi “Puncak Suroloyo, 4
minutes 1.7 Km”, sepertinya Puncak Suroloyo sudah sangat dekat di depan mata,
tapi kami malah tidak mampu untuk melanjutkan. Ada ide untuk berjalan kaki
sampai ke puncak, tapi itu ide yang buruk, karena motor kita harus ditinggal
ditengah hutan. Akhirnya dengan berat hati kami harus turun kebawah lagi dengan
kondisi motor Arga yang tidak bisa jalan. Saat itu pukul 04.30 dini hari, adzan
subuh sudah berkumandang, kami masih menembus hutan-hutan untuk mencari bengkel
yang buka di jalan besar. Namun perjalanan yang melelahkan pagi itu benar-benar
terbayar dengan sunrise yang luar
biasa indah. Kami pun sempat berhenti sebentar untuk menikmati suasana pagi itu
di pinggir sawah. Sinar kekuningan dari langit menghiasi sawah-sawah desa yang
tersebar luas di hadapan kami. Ternyata tidak harus ke Puncak Suroloyo untuk
mendapatkan keindahan. Dari perjalanan ini saya belajar bahwa sebenarnya proses
itu memang jauh lebih menyenangkan dibandingkan hasil yang didapat. Kami tidak
mendapatkan hasil yang kami inginkan, tapi kami mendapatkan proses yang lebih
baik daripada yang kita inginkan. *cheers*
Fajar Kurniawan, Mahasiswa Teknologi Industri
Pertanian, Universitas Gadjah Mada
0 comments:
Posting Komentar